Selasa, 10 April 2012

Imam an-Nasa’i (215-303 H)

Nama lengkap Imam an-Nasa’i adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadhi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (an-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadits kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadits, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan an-Nasa’i.


Pengembaraan intelektual

Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’. Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan lawatan ilmiah ke berbagai penjuru dunia. Apalagi kalau bukan untuk guna memburu ilmu-ilmu keagamaan, terutama disiplin hadits dan ilmu Hadits.

Belum genap usia 15 tahun, beliau sudah melakukan mengembara ke berbagai wilayah Islam, seperti Mesir, Hijaz, Iraq, Syam, Khurasan, dan lain sebagainya. Sebenarnya, lawatan intelektual yang demikian, bahkan dilakukan pada usia dini, bukan merupakan hal yang aneh dikalangan para Imam Hadits. Semua imam hadits, terutama enam imam hadits, yang biografinya banyak kita ketahui, sudah gemar melakukan perlawatan ilmiah ke berbagai wilayah Islam semenjak usia dini. Dan itu merupakan ciri khas ulama-ulama hadits, termasuk Imam an-Nasa’i.

Kemampuan intelektual Imam an-Nasa’i menjadi kian matang dan berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.


Guru dan murid

Seperti para pendahulunya: Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam al-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i juga tercatat mempunyai banyak pengajar dan murid. Para guru beliau yang nama harumnya tercatat oleh pena sejarah antara lain; Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, Al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram, Imam Abu Dawud (penyusun Sunan Abi Dawud), serta Imam Abu Isa at-Tirmidzi (penyusun al-Jami’/Sunan al-Tirmidzi).

Sementara murid-murid yang setia mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah beliau, antara lain; Abu al-Qasim ath-Thabarani (pengarang tiga buku kitab Mu’jam), Abu Ja’far at-Thahawi, al-Hasan bin al-Khadir al-Suyuti, Muhammad bin Muawiyah bin al-Ahmar al-Andalusi, Abu Nashr ad-Dalaby, dan Abu Bakr bin Ahmad as-Sunni. Nama yang disebut terakhir, disamping sebagai murid juga tercatat sebagai “penyambung lidah” Imam al-Nasa’i dalam meriwayatkan kitab Sunan al-Nasa’i.

Sudah mafhum dikalangan peminat kajian hadits dan ilmu hadits, para imam hadits merupakan sosok yang memiliki ketekunan dan keuletan yang patut diteladani. Dalam masa ketekunannya inilah, para imam hadits kerap kali menghasilkan karya tulis yang tak terhingga nilainya.

Tidak ketinggalan pula Imam an-Nasa’i. Karangan-karangan beliau yang sampai kepada kita dan telah diabadikan oleh pena sejarah antara lain; as-Sunan al-Kubra, as-Sunan as-Sughra (kitab ini merupakan bentuk perampingan dari kitab as-Sunan al-Kubra), al-Khashais, Fadhail ash-Shahabah, dan al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh Imam Ibn al-Atsir al-Jazairi dalam kitabnya Jami al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh mazhab Syafi’i.


Kitab al-Mujtaba’

Sekarang, karangan Imam an-Nasa’i paling monumental adalah Sunan an-Nasa’i. Sebenarnya, bila ditelusuri secara seksama, terlihat bahwa penamaan karya monumental beliau sehingga menjadi Sunan an-Nasa’i sebagaimana yang kita kenal sekarang, melalui proses panjang, dari as-Sunan al-Kubra, as-Sunan as-Sughra, al-Mujtaba, dan terakhir terkenal dengan sebutan Sunan an-Nasa’i.

Untuk pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan an-Nasa’i, kitab ini dikenal dengan as-Sunan al-Kubra. Setelah tuntas menulis kitab ini, beliau kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian bertanya kepada an-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Beliau menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, hasan, dan adapula yang hampir serupa dengannya”.

Kemudian Amir berkata kembali, “Kalau demikian halnya, maka pisahkanlah hadits yang shahih-shahih saja”. Atas permintaan Amir ini, beliau kemudian menyeleksi dengan ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab as-Sunan al-Kubra. Dan akhirnya beliau berhasil melakukan perampingan terhadap as-Sunan al-Kubra, sehingga menjadi as-Sunan as-Sughra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang pertama.

Imam an-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadits-hadits yang termuat dalam kitab pertama. Oleh karenanya, banyak ulama berkomentar “Kedudukan kitab as-Sunan as-Sughra dibawah derajat Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Di dua kitab terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat di dalamnya”. Nah, karena hadits-hadits yang termuat di dalam kitab kedua (as-Sunan as-Sughra) merupakan hadis-hadis pilihan yang telah diseleksi dengan super ketat, maka kitab ini juga dinamakan al-Mujtaba. Pengertian al-Mujtaba bersinonim dengan al-Maukhtar (yang terpilih), karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan, hadis-hadis hasil seleksi dari kitab al-Sunan al-Kubra.

Disamping al-Mujtaba, dalam salah satu riwayat, kitab ini juga dinamakan dengan al-Mujtana. Pada masanya, kitab ini terkenal dengan sebutan al-Mujtaba, sehingga nama as-Sunan as-Sughra seperti tenggelam ditelan keharuman nama al-Mujtaba. Dari al-Mujtaba inilah kemudian kitab ini kondang dengan sebutan Sunan an-Nasa’i, sebagaimana kita kenal sekarang. Dan nampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.


Kritik Ibnu al-Jauzy

Kita perlu menilai jawaban Imam an-Nasa’i terhadap pertanyaan Amir Ramlah secara kritis, dimana beliau mengatakan dengan sejujurnya bahwa hadits-hadits yang tertuang dalam kitabnya tidak semuanya shahih, tapi adapula yang hasan, dan ada pula yang menyerupainya. Beliau tidak mengatakan bahwa didalamnya terdapat hadis dhaif (lemah) atau maudhu’ (palsu). Ini artinya beliau tidak pernah memasukkan sebuah haditspun yang dinilai sebagai hadis dhaif atau maudhu’, minimal menurut pandangan beliau.

Apabila setelah hadits-hadits yang ada di dalam kitab pertama diseleksi dengan teliti, sesuai permintaan Amir Ramlah supaya beliau hanya menuliskan hadits yang berkualitas shahih semata. Dari sini bisa diambil kesimpulan, apabila hadits hasan saja tidak dimasukkan kedalam kitabnya, hadits yang berkualitas dhaif dan maudhu’ tentu lebih tidak berhak untuk disandingkan dengan hadits-hadits shahih.

Namun demikian, Ibnu al-Jauzy pengarang kitab al Maudhuat (hadis-hadis palsu), mengatakan bahwa hadits-hadits yang ada di dalam kitab as-Sunan as-Sughra tidak semuanya berkualitas shahih, namun ada yang maudhu’ (palsu). Ibnu al-Jauzy menemukan sepuluh hadis maudhu’ di dalamnya, sehingga memunculkan kritik tajam terhadap kredibilitas as-Sunan as-Sughra. Seperti yang telah disinggung dimuka, hadits itu semua shahih menurut Imam an-Nasa’i. Adapun orang belakangan menilai hadits tersebut ada yang maudhu’, itu merupakan pandangan subyektivitas penilai. Dan masing-masing orang mempunyai kaidah-kaidah mandiri dalam menilai kualitas sebuah hadits. Demikian pula kaidah yang ditawarkan Imam an-Nasa’i dalam menilai keshahihan sebuah hadits, nampaknya berbeda dengan kaidah yang diterapkan oleh Ibnu al-Jauzy. Sehingga dari sini akan memunculkan pandangan yang berbeda, dan itu sesuatu yang wajar terjadi. Sudut pandang yang berbeda akan menimbulkan kesimpulan yang berbeda pula.

Kritikan pedas Ibnu al-Jauzy terhadap keautentikan karya monumental Imam an-Nasa’i ini, nampaknya mendapatkan bantahan yang cukup keras pula dari pakar hadits abad ke-9, yakni Imam Jalaluddin as-Suyuti, dalam Sunan an-Nasa’i, memang terdapat hadits yang shahih, hasan, dan dhaif. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Imam as-Suyuti tidak sampai menghasilkan kesimpulan bahwa ada hadits maudhu’ yang termuat dalam Sunan an-Nasa’i, sebagaimana kesimpulan yang dimunculkan oleh Imam Ibnu al-Jauzy. Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwah hadits yang ada di dalam kitab Sunan an-Nasa’i semuanya berkualitas shahih, ini merupakan pandangan yang menurut Muhammad Abu Syahbah -tidak didukung oleh penelitian mendalam dan jeli. Kecuali maksud pernyataan itu bahwa mayoritas (sebagian besar) isi kitab Sunan an-Nasa’i berkualitas shahih.


Komentar Ulama

Imam an-Nasa’i merupakan figur yang cermat dan teliti dalam meneliti dan menyeleksi para periwayat hadits. Beliau juga telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam proses penyeleksian hadits-hadits yang diterimanya. Abu Ali an-Naisaburi pernah mengatakan, “Orang yang meriwayatkan hadis kepada kami adalah seorang imam hadits yang telah diakui oleh para ulama, ia bernama Abu Abdurrahman an-Nasa’i.”

Lebih jauh lagi Imam an-Naisaburi mengatakan, “Syarat-syarat yang ditetapkan an-Nasa’i dalam menilai para periwayat hadits lebih ketat dan keras ketimbang syarat-syarat yang digunakan Muslim bin al-Hajjaj.” Ini merupakan komentar subyektif Imam al-Naisaburi terhadap pribadi an-Nasa’i yang berbeda dengan komentar ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya lebih mengunggulkan keketatan penilaian Imam Muslim bin al-Hajjaj ketimbang an-Nasa’i. Bahkan komentar mayoritas ulama ini pulalah yang memposisikan Imam Muslim sebagai pakar hadits nomer dua, sesudah al-Bukhari.

Namun demikian, bukan berarti mayoritas ulama merendahkan kredibilitas Imam an-Nasa’i. Imam an-Nasa’i tidak hanya ahli dalam bidang hadits dan ilmu hadits, namun juga mumpuni dalam bidang fiqh. Ad-Daruquthni pernah mengatakan, beliau adalah salah seorang Syaikh di Mesir yang paling ahli dalam bidang fiqh pada masanya dan paling mengetahui tentang Hadis dan para rawi. Al-Hakim Abu Abdullah berkata, “Pendapat-pendapat Abu Abdurrahman mengenai fiqh yang diambil dari hadits terlampau banyak untuk dapat kita kemukakan seluruhnya. Siapa yang menelaah dan mengkaji kitab Sunan an-Nasa’i, ia akan terpesona dengan keindahan dan kebagusan kata-katanya.”

Tidak ditemukan riwayat yang jelas tentang afiliansi pandangan fiqh beliau, kecuali komentar singkat Imam Madzhab Syafi’i. Pandangan Ibnu al-Atsir ini dapat dimengerti dan difahami, karena memang Imam an-Nasa’i lama bermukim di Mesir, bahkan merasa cocok tinggal di sana. Beliau baru berhijrah dari Mesir ke Damsyiq setahun menjelang kewafatannya.

Karena Imam an-Nasa’i cukup lama tinggal di Mesir, sementara Imam asy-Syafi’i juga lama menyebarkan pandangan-pandangan fiqhnya di Mesir (setelah kepindahannya dari Baghdad), maka walaupun antara keduanya tidak pernah bertemu, karena an-Nasa’i baru lahir sebelas tahun setelah kewafatan Imam asy-Syafi’i, tidak menutup kemungkinan banyak pandangan-pandangan fiqh Madzhab Syafi’i yang beliau serap melalui murid-murid Imam asy-Syafi’i yang tinggal di Mesir. Pandangan fiqh Imam asy-Syafi’i lebih tersebar di Mesir ketimbang di Baghdad. Hal ini lebih membuka peluang bagi Imam an-Nasa’i untuk bersinggungan dengan pandangan fiqh Syafi’i. Dan ini akan menguatkan dugaan Ibnu al-Atsir tentang afiliasi mazhab fiqh an-Nasa’i.

Pandangan Syafi’i di Mesir ini kemudian dikenal dengan qaul jadid (pandangan baru). Dan ini seandainya dugaan Ibn al-Atsir benar, mengindikasikan bahwa pandangan fiqh Syafi’i dan an-Nasa’i lebih didominasi pandangan baru (Qaul Jadid, Mesir) ketimbang pandangan klasik (Qaul Qadim, Baghdad).

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa Imam an-Nasa’i merupakan sosok yang berpandangan netral, tidak memihak salah satu pandangan mazhab fiqh manapun, termasuk pandangan Imam asy-Syafi’i. Hal ini seringkali terjadi pada imam-imam hadis sebelum an-Nasa’i, yang hanya berafiliasi pada mazhab hadits. Dan independensi pandangan ini merupakan ciri khas imam-imam hadits. Oleh karena itu, untuk mengklaim pandangan Imam an-Nasa’i telah terkontaminasi oleh pandangan orang lain, kita perlu menelusuri sumber sejarah yang konkrit, bukannya hanya berdasarkan dugaan.


Tutup Usia

Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.

Sementara ulama yang lain, seperti Imam adz-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam an-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar an-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam an-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Baitul Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadits mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar